Kamis, 10 Oktober 2013

Serapihan jejak di belakang Alfi


Suasana kampung di pinggiran kota Yogya itu mulai sepi. Maklum, malam mulai larut. Pintu-pintu rumah mulai tertutup, lampu-lampu di dalam rumah mulai dipadamkan. Tetapi dari sebuah rumah bercat biru, dengan bagian-bagian tembok rumah yang penuh dengan baluran cat yang digoreskan oleh tangan-tangan tiga anak kecil, di sebuah sudut ruang, seorang laki-laki berumur 35 tahun sedang duduk dengan kondisi yang tidak jenak. Hisapan rokoknya terasa semakin cepat. Napasnya terdengar semakin menderu. Beberapa kali bahkan, rokok yang sudah menyala di mulutnya, disulut ulang. Sesuatu yang sangat khas, jika ia sedang gelisah.

Pada titik tertentu, laki-laki yang resah itu kemudian bangkit. Ada sesuatu yang menggelegak di dirinya. Segera, ia keluar dari rumah. Dengan pelan ditutupnya pintu, setengah berhati-hati agar ketiga anaknya yang masih kecil-kecil tidak terbangun atas ulahnya. Di tangan kanannya tergenggam kunci, dan tangan kirinya mencengkeram sebungkus rokok putih dengan korek api. Malam yang mulai pekat, hanya memperlihatkan bayang-bayang berbobot 80 kilogram dengan tinggi sekitar 170 centimeter. Hanya ada api kecil yang menyala di sekitar daerah muka, api yang menyala dari sebatang rokok.

Ia menuju sebuah studio besar yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Pintu studio itu dibuka, lalu ia menutupnya dari dalam. Lampu dinyalakan. Bangunan itu besar itu terkesan semakin lapang karena warna putih yang dominan. Dan bangunan itu pun tampak kokoh, seakan ingin mengatakan jika tidak kokoh maka bangunan itu bisa ambrol karena letupan jiwa pemiliknya. Tampaklah segera di sana, kuas-kuas besar bersandar di dinding, cat-cat tertata rapi di rak besar dan peralatan melukis tersemat di bagian dinding tertentu. Studio itu sendiri, sudah seperti benda seni yang segera bisa mewartakan sedikit hal tentang siapa pemiliknya.

Alfi, nama laki-laki itu, segera menutup tirai jendela. Di ruang besar itu, hanya ada dirinya dan kegelisahannya. Sebuah prosesi segera dimulai. Kepundan resah yang mulai 'menggoyangnya' sejak beberapa saat lalu, kini mulai mematang. Hanya menunggu hitungan detik saja, kepundan itu akan meletus, memuntahkan banyak hal.

Studio itu segera menjadi arenanya. Ia menjelma menjadi seperti seorang darwis yang hendak menari. Tidak ada musik dari rebana, tapi kepalanya penuh dengan geberan musik Pink Floyd dan kesenduan Siguros. Tidak ada mantra yang tergumam dari mulutnya, tetapi hatinya ditalu dengan syair dan pantun di masa lalu. Jika seorang darwis gemetar karena kerinduan spiritual, di diri laki-laki itu gemetar oleh aliran kegelisahan.

Di ruang itu, waktu mengalir cepat dan kuat. Menderas. Ruang menjadi sublim.

Beberapa jam kemudian, ketika langit mulai semburat merah di ufuk timur, Alfi membuka pintu studionya. Udara pagi mengalir masuk ruangan, memberi jeda dan mengusir bau cat yang menusuk kuat.

Alfi duduk di sebuah pojok ruangan, sembari menikmati hisapan rokoknya yang terakhir. Wajahnya tidak lagi menampakkan kegalauan. Emosinya seperti telah rampung. Sang darwis telah usai menari. Di atas kanvas besar yang semula kosong, sudah mulai penuh dengan warna dan garis, juga kata-kata. Lukisan itu belum selesai, tetapi telah lewat dari fase genting.

"Orang hanya tahu hasil akhir kegelisahanku. Orang hanya menikmati dan berkomentar atas lukisanku. Tetapi itu hanyalah hasil. Hanya sebuah produk. Di balik lukisan itu, ada sesuatu yang panjang dan melelahkan, dan orang tidak tahu akan hal itu." begitu ucapnya suatu saat.

Lampu dimatikan. Cat-cat dirapikan, dan kuas-kuas serta perkakas melukis yang lain kembali disematkan di dinding. Alfi mengunci studionya dari luar. Langkahnya terayun ringan menuju ke rumah. Ia butuh makan dan istirahat sejenak, hingga kemudian tiba saatnya untuk memandikan anak-anaknya, lalu mengantar mereka pergi ke sekolah.

***

Alfi lahir di Lintau, sebuah kota kecamatan yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Batusangkar, Sumatra Barat. Ia berasal dari sebuah keluarga besar dengan sembilan anak. Kedua orangtuanya, sudah sejak lama merantau di Jawa. Namun, keluarga Alfi mempunyai tradisi, setiap kali ibunya mengandung, maka si ibu balik ke kampung halaman sampai melahirkan. Demikian juga ketika si ibu mengandung Alfi. Sampai Alfi berumur 2 tahun, barulah ia dibawa kedua orangtuanya pergi ke tanah rantau. Saat itu, kedua orangua Alfi merantau di Subang, Jawa Barat. Tetapi pada saat Alfi menginjak kelas 3 SD, ia dikirim lagi pulang kampung.

Di Lintau, Alfi sebetulnya hanya tinggal kurang-lebih 6 tahun, sebab ketika ia lulus SMP, ia meneruskan sekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Tetapi sekalipun hanya tinggal tidak lama di Lintau, namun fase itu begitu kuat di ingatan Alfi.

Alfi kecil sebetulnya tidak terlalu kuat secara fisik. Bahkan menurut cerita yang didapat dari ibunya, Alfi baru bisa berjalan ketika ia sudah berumur tiga tahun. Itu pun dengan kisah yang agak unik. Saat itu, ia diajak salah seorang kakaknya bermain, dan tentu saja Alfi kecil digendong. Karena si kakak juga sedang senang-senangnya bermain, Alfi diletakkan di tanah. Tiba-tiba ada seekor kerbau yang berlari kencang memburu gerombolan anak-anak. Tentu saja gerombolan anak-anak itu pun lari terbirit-birit, termasuk kakak Alfi. Si kakak, lupa dan meninggalkan begitu saja Alfi yang masih menggelesot di tanah. Namun, Alfi kecil, entah mengapa, tiba-tiba bisa langsung berdiri dan menghindar dari kejaran kerbau. Kisah itu menjadi bagian dari kisah keluarga yang selalu diulang-ulang di dalam keluarga besar Alfi.

Ketika kembali berada di Lintau, kondisi fisik Alfi juga masih lemah. Ia sering tidak dilibatkan permainan ala anak laki-laki, seperti misalnya sepakbola. Hal seperti itu tentu saja membuat Alfi tumbuh sebagai seorang bocah penyendiri. Di samping itu, karena tinggal di kampung dan jauh dari orangtua, Alfi juga harus belajar mandiri. Ia biasa berjualan es keliling kampung. Namun Alfi dengan segera menemukan keasyikannya sendiri. Ia mulai rajin singgah di sebuah taman bacaan yang menyewakan buku-buku komik. Saat itulah, Alfi mulai gemar membaca.

Hal pertama yang membuatnya tertarik dengan komik adalah goresan komik itu sendiri, bukan ceritanya. Jika ia suka gambar dan goresan di dalam sebuah komik, maka ia membaca komik itu. Sejak kecil, Alfi mulai tergila-gila dengan karya Jair, karena menurutnya goresan Jair begitu kuat. Dan ia pun sangat menikmati karya Teguh Santosa, terutama karena permainan gambar gelap-terangnya.

Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Lintau, sebagaimana kebiasaan masyarakat Minang pada umumnya, setiap anak laki-laki yang sudah memasuki masa akil balik, maka anak tersebut haruslah tinggal di surau. Mungkin itu adalah pelajaran kultural pertama bagi anggota masyarakat Minang tentang perantauan. Alfi pun, ketika mulai menginjak masa remaja, tinggal bersama teman-temannya di surau. Di sana, ia belajar mengaji dan juga pencak silat.

Lintau di saat itu, menurut ingatan Alfi, adalah tempat yang sangat memikat, bukan hanya dari sisi keindahan alamnya, namun juga kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Di kampung itu, tumbuh dengan subur aliran tarekat Naqsyabandiyah. Di sana juga masih pekat dengan aroma seni dan sastra, terutama tradisi pantun. Beberapa paman Alfi bahkan, dikenal sebagai orang-orang yang ahli berpantun.

Di Lintau, banyak berserakan situs-situs tinggalan masa lalu, yang kemungkinan besar berasal dari zaman Hindu-Buddha. Di sana ada banyak batu-batu bertulis huruf-huruf yang tidak dikenal oleh Alfi. Karena imajinasi Alfi mulai membara dikipasi oleh komik-komik yang dibacanya, Alfi mulai senang menyendiri di antara batu-batu bertulis itu. Ia seperti terperangkap dalam bayangan bagaimana orang-orang zaman dulu bersidang dan berpidato.

Sebagai seorang anak yang mulai menginjak masa remaja, kepala Alfi pun penuh dengan cabang cita-cita. Ia pernah ingin menjadi ahli pantun sebagaimana paman-pamannya, namun dengan segera ia sadar, keahlian meramu kata terutama dengan tertib model sampiran dan makna ala pantun, tidak sesuai dengan jiwanya yang mulai gampang meletup dan meloncat. Ia juga pernah berangan-angan kuat untuk menjadi ahli sejarah, menelisik lebih mendalam tentang huruf-huruf membisu yang tertera di batu-batu. Bahkan ada satu bait pantun yang terpatri kuat di diri Alfi, diingatnya terus, sebagai bagian dari laku kehidupannya di masa-masa mendatang. Pantun itu berbunyi:

Si cerek di tapi banda

Jikok rabah tolong taga'kan

Awak ketek sedang baraja

Jikok salah tolong tunjua'kan

Artinya:

Si cerek (jenis pohon) di tepi banda (parit)

Jika rebah tolong tegakkan

Saya (kecil) masih belajar

Kalau salah tolong tunjukkan

Di kampung itu, ada dua orang yang dianggap 'aneh' oleh penduduk kampung. Orang pertama, bernama Itji Tarmizi. Orang ini berpenampilan sangat eksentrik dan tertutup. Ia seorang penyendiri. Hampir semua barang yang dikenakannya adalah hasil olahan tangannya sendiri, seperti topi, pakaian dan sandal. Jika pagi tiba, Tarmizi selalu pergi ke kebun dengan ditemani seekor anjing. Sesampai di kebun, Tarmizi hanya duduk-duduk. Ketika hari mulai senja, ia pulang. Begitu terus setiap hari.

Orang kedua, bernama Sofyan. Ia juga punya penampilan khas, dengan peci yang sudah memudar warnanya. Sofyan dikenal oleh orang kampung sebagai penyuka permainan domino. Dengan sosok Sofyan yang kemudian bergelar Datuk Bandaro Kuniang inilah, Alfi kenal dekat sebab ayah Alfi adalah teman Sofyan.

Sofyan dan Tarmizi adalah mantan anggota Sanggar Bumi Tarung, yang sering dikaitkan dengan Lekra. Kedua orang ini pernah lama tinggal di Yogya. Alfi sangat menyukai gaya cuek kedua orang ini. Dan dari Sofyan, Alfi mulai tahu sedikit demi sedikit soal melukis. Diam-diam Alfi belajar melukis dari Sofyan. Tetapi Sofyan tidak pernah secara langsung mengajari Alfi melukis. Satu-satunya pelajaran yang pernah diajarkan oleh Sofyan kepada Alfi adalah bagaimana meraut pensil untuk melukis. Dan dari kedua orang inilah, Alfi mulai mengenal dan membayangkan dua hal: seni lukis dan Yogyakarta.

Ketika kemudian Alfi lulus dari SMP, ia pun berangkat ke Jawa, lebih tepatnya ke Yogya untuk belajar di SMSR. Orangtuanya tidak berkomentar atas hal itu. Mereka tidak menentang dan juga tidak mendukung. Sebab yang paling penting bagi orangtua Alfi saat itu adalah bagaimana Alfi bisa melanjutkan sekolah.

Bahkan ketika empat tahun berikutnya Alfi memutuskan untuk kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI), kedua orangtua Alfi juga tidak menentang dan tidak pula mendukung. Hanya dua kali, ayah Alfi berkomentar soal pendidikan formal Alfi. Pertama, ketika Alfi sudah beberapa semester menjalani kuliah, ia ditanya si ayah, "Kok aku tidak pernah lagi tandatangan untuk raport?" Sedangkan yang kedua, ketika Alfi tidak kunjung menyelesai kuliahnya. Saat itu si ayah berkomentar, "Belajar melukis kok lama banget..."

***

Marilah sejenak bermain imajinasi. Ada sebuah ruang memanjang, dengan 5 jendela terbuka. Di masing-masing jendela, melongok lima kepala secara serempak, masing-masing adalah Alfi, Handiwirman Saputra, Rudi Mantovasi, Yunizar dan Yusra Martunus. Kelima orang itu sebaya, dan sama-sama satu angkatan masuk di ISI yakni tahun 1993. Selain itu, mereka berlima juga berasal dari daerah yang sama, Sumatra Barat. Kelima orang itu membentuk sebuah kelompok bernama Kelompok Seni Rupa Jendela (KSRJ) pada pertengahan tahun 90an.

Kelompok Jendela, begitu biasanya disebut, dari awal kemunculannya sudah cukup fenomenal sebab banyak menuai kritikan. Di dalam catatan kuratorial yang ditulis oleh Rizki A Zaelani untuk pameran kelompok ini yang digelar di Nadi Gallery pada tahun 2005, tertulis: Kelompok ini 'ada' karena diposisikan, dipermasalahkan, dinilai banyak pihak.

Kelompok ini, sebagaimana dinyatakan oleh Alfi, memang tidak disatukan oleh gagasan atau paradigma seni tertentu. "Ini seperti sebuah keluarga, di mana kami saling mendukung satu sama lain, saling mengisi dan yang paling penting saling memberi suntikan semangat jika ada salah satu anggota frustrasi dalam berproses menjadi pelukis."

Ibarat ruang memanjang dengan 5 jendela tersebut, maka jika kita melongok di masing-masing jendela maka kita akan menemukan ruang yang berbeda-beda. Di ruang Alfi misalnya, catatan kuratorial Nirwan Dewanto pada pameran Alfi di Galeri Lontar tahun 2001 menyatakan bahwa lukisan Alfi khas anak-anak, spontan, edan dan nakal, namun kemudian Alfi membatalkan, menyesali dan menyeimbangkan serta menertibkan kekacauan bentuk. Nirwan juga sempat heran, kenapa dalam lukisan tertentu seakan Alfi juga bisa condong dalam keheningan, kekhidmatan dan kekosongan, seperti lelah dalam disharmoni dan keriuhan yang dikejar Alfi sendiri. Dan di penutup catatan kuratorial yang renyah itu, Nirwan membuat semacam konklusi yang bernas tentang lukisan-lukisan Alfi: Alfi berbuat serong terhadap lukisannya sendiri. Alfi melukis, menodai lukisannya dan memurnikannya kembali.

Sementara itu, Arimbi, dalam catatan kuratorialnya atas pameran Alfi di Bentara Budaya pada tahun yang sama (2001) menemukan setidaknya tiga kata kunci: persimpangan, keseimbangan dan pengendalian. Dua kata terakhir, tampaknya memang benar-benar mewakili Alfi pada fase itu, sebab sebelumnya, menjelang tutup dekade 90an, karir Alfi sempat terjun bebas karena ulah seorang spekulan lukisan.

Dalam fase krisis itulah, masa lalu Alfi mendatanginya kembali. Laku tarekat Naqsyabandiyah dan filosofi orang Minang bahwa hidup itu pamenan (permainan), membuat Alfi kembali menemukan sebuah fase meditatif. Ia mulai rajin membaca buku-buku tentang spiritualitas. Dan di saat itulah, ia bertemu dengan Buldanul Khuri, salah satu penggiat dunia perbukuan di Yogya. Saat itu, Buldan masih menjalankan rumah penerbitannya yakni Bentang Budaya. Saat itu, Bentang sedang gencar-gencarnya menerbitkan buku-buku spiritual. Dan kemudian Buldan banyak menggunakan lukisan Alfi sebagai ilustrasi sampul buku.

Saat itu, ada banyak orang yang 'menegur' Alfi. Mereka bilang, tidak seharusnya lukisan Alfi dicederai hanya sebatas sebagai ilustrasi sampul buku. Tetapi Alfi punya pendapat yang berbeda dengan mereka, "Lha kan aku malah untung, buku itu seperti galeri berjalan bagi karya-karyaku..."

Di saat krisis itu pula, Alfi malah memutuskan untuk menikah. "Dengan menikah, maka aku punya tanggungjawab, dan dengan begitu aku akan bisa bekerja lebih keras lagi." tandas Alfi.

Cara menikahnya pun mungkin seperti gaya melukisnya, mengandalkan spontanitas. Suatu saat Alfi datang ke sebuah galeri, dan di sana ia bertemu dengan seorang staf perempuan. Langsung saja Alfi mencari informasi tentang perempuan itu, menelepon, dan berkunjung ke rumah si gadis.

Wiwid, nama gadis itu, tentu saja terkaget-kaget. Apalagi Alfi langsung 'menantangnya' untuk menikah. Wiwid akhirnya menemukan cara tersendiri untuk menghadapi Alfi. Ia mengadu ke neneknya, "Mbah, iki lho ana uwong seneng aku!" (Nek, ini ada orang suka aku!)

Nenek Wiwid dengan segera menjawab, dan bilang ke Alfi "Lha nek seneng putuku ya potong dhisik rambutmu." (Kalau senang cucuku, kamu potong rambut dulu). Saat itu, rambut Alfi memang gondrong sampai sebahu.

Mendengar jawaban itu, segera Alfi pulang dan potong rambut. Keesokan harinya, Alfi datang lagi dengan kepala pelontos. Segera ia menemui nenek Wiwid. Begitu melihat Alfi sudah memotong rambutnya, si nenek bertanya, "Lho kowe ngapa, Le, kok potong rambut?" (Lho kamu kenapa, Nak, kok potong rambut?)

Kontan saja Alfi bingung. Ia lalu menjawab, "Kata nenek, aku disuruh potong?"

Si nenek kemudian berkata, "Lha aku ki mung gojeg, je. Ya nek pengen rabi ya rabi wae. Eman-eman lho, rambutmu ki apik, je..." (Lha aku itu hanya bercanda. Kalau mau nikah ya nikah saja. Sayang lho, rambutmu itu bagus sekali...)

Mendengar hal itu, Alfi langsung geleng-geleng kepala. Ia tidak tahu, apakah harus sedih atau bahagia. Sedih karena kisah salah paham tentang rambut sehingga ia harus kehilangan bagian tubuh yang disukainya saat itu, bahagia karena ia direstui si nenek untuk mempersunting Wiwid.

Tidak berapa lama, Alfi menikah dengan Wiwid. Pernikahan itu terjadi pada titik nadir karir Alfi. Di saat itu, Alfi hanya punya uang 300 ribu rupiah untuk modal menikah.

***

"Aku tidak bisa melukis kalau tidak sedang gelisah..." tepat ketika kalimat itu diucapkan oleh Alfi, kegelisahan juga sedang meruyak di kepalanya, hal itu tampak dari caranya menghisap rokok putih kegemarannya, dan terutama saat ia menyulut lagi batangan rokok yang sudah menyala di sela-sela bibirnya. Maklum, saat itu pula, ia sedang dalam tahap menyelesaikan sebuah lukisan.

Lalu ia meneruskan, "Dan yang paling susah adalah saat di mana aku harus mulai menggores pertama kali. Butuh energi yang besar sekali untuk mengumpulkan keberanian memulai. Sebab jika goresan pertama itu gagal, maka gagal juga seluruh proses melukisku..."

Proses Alfi di dalam melukis benar-benar mengandalkan aliran emosi di dirinya, sesuatu yang bergejolak di dalam jiwanya. Mungkin serupa dengan istilah jiwa ketok, jiwa yang tampak, seperti yang diwedarkan oleh Sudjojono. Melukis, menurut Alfi, sembari menyitir Paul Klee, adalah memvisualkan apa yang tidak tampak.

Maka itu, magma emosi yang menumpuk di balik dirinya, adalah proses yang menyakitkan sekaligus menantang. Akan jadi apakah timbunan emosi itu kelak jika telah meletus di dalam lukisan? Begitulah kira-kira pertanyaan yang menggelayut di pikirannya setiap kali ia merasakan magma emosi semakin menggunung.

Dan inilah pengakuan Alfi tentang bahan-bahan yang memberi kontribusi pada lukisan-lukisannya, "Semua lukisanku berhubungan dengan masa lalu, tidak ada hubungannya dengan masa depan..."

Masa lalu, ketegangan, emosi yang menggelegak, adalah hal-hal yang jika absen dari diri Alfi, maka tidak ada lukisan-lukisannya. Anasir-anasir yang terus mengalir, yang menagih ruang pelampiasan dan ekspresi, yang mengguncang batin Alfi, dan ketika semua reda, kembali dingin, mencapai titik ekulibrium, sebuah lukisan telah terbentang.

Pada hal-hal seperti di ataslah, mungkin tidak ada salahnya kembali menyebut Paul Klee (1879-1940), perupa yang karya-karyanya sering diasosiasikan dengan ekspresionisme, kubisme, serta surealisme, namun tetap susah diklasifikasikan. Di dalam karya-karya perupa kelahiran Swiss yang terkenal dengan kredonya "A line is a dot going for a walk." juga tampak jejak renta masa kecil, musik, puisi, bahkan juga syair dan notasi lagu. Klee, juga tergabung dalam sebuah kelompok seniman ekspresionis yang bernama Der Blaue Reiter (The Blue Rider).

Dengan sangat jeli, Arimbi dalam catatan kuratorialnya, berhasil mengintip hamparan makna yang ada di dalam lukisan-lukisan Alfi, sebagai semacam translasi dari perasaan 'membelum' dan 'tak sampai'. Dan mungkin dalam konteks itu, ada baiknya pula kita simak ulang kalimat-kalimat yang tertera di batu nisan Klee: I belong not only to this life. I live as well with the dead, as with those not born. Nearer to the heart of creation than others, but still too far.

Lukisan Alfi bukanlah tenunan ketrampilan dan proses kerajinan tangan. "Mungkin karena itulah aku suka melukis, sebab di sana tidak ada sampiran dan makna seperti tertib hukum pantun. Lukisan tidak harus dibaca dari kiri ke kanan, dari bawah ke atas secara runtut." ungkapnya. Namun, Alfi juga mengakui, nalar berpantun tetap hidup dalam diri dan mungkin juga di dalam lukisannya. Sebab itu, menurut Alfi, tetap ada simbol-simbol sebagai sampiran, dan tetap saja ada bocoran-bocoran isi di dalam lukisannya. Hanya mungkin tidak gampang ditafsir seperti halnya pantun.

Lukisan memang bukan pantun, sebab karya senirupa memang bukan sastra, sekalipun ada adagium yang berusaha menautkan kedua hal itu, seperti misalnya 'puisi adalah lukisan yang berkata-kata, lukisan adalah puisi yang berwarna'. Tetapi sebagai dua hasil kreativitas manusia yang berbeda nalar dan medium, tetaplah bisa disandingkan walaupun tidak untuk diperbandingkan. Paling tidak, masih ada yang bisa ditarik, misalnya dari aliran realisme di dalam senirupa dengan aliran realisme di dalam sastra.

Dan mungkin apa yang ditempuh oleh Alfi dalam senirupa, mirip dengan apa yang ditempuh sastrawan di dalam sebuah proses bernama aliran kesadaran (stream of consiousness) dan monolog interior (interior monologue). Gagrak (genre) tersebut di dalam sastra dikembangkan secara revolusioner oleh dua dedengkotnya, James Joyce dan Virginia Woolf, yang secara kebetulan, mereka berdua lahir di tahun yang sama yakni 1882, dan meninggal di tahun yang sama pula yakni 1941. Joyce dikenal dengan beberapa karyanya yang fenomenal seperti Dubliners (1914), A Portrait of the Artist as a Young Man (1916), Ulysses (1922), dan Finnegans Wake (1939). Sementara Woolf dikenal dengan karya-karyanya seperti Jacob's Room (1922), Mrs. Dalloway (1925), dan To the Lighthouse (1927). Joyce adalah sastrawan Irlandia, dan Woolf adalah sastrawan Inggris. Kedua orang itu meninggal dengan kisah yang tragis, Joyce meninggal dalam keadaan menderita akibat buta, dan Woolf melakukan bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di dalam sungai. Mungkin juga kebetulan, Joyce dikenang oleh para penggemarnya dengan merayakan Bloomsday, sebuah perayaan yang diambil dari salah satu tokoh bernama Leopold Bloom di dalam Ulysses, sementara Woolf dikenal pernah mendirikan sebuah kelompok intelektual yang dikenal dengan nama Bloomsbury Group.

Gagrak yang dikembangkan kedua penulis tersebut lepas dari aturan novel konvensional. Kisah dipaparkan dengan mengikuti pemikiran, perasaan dan kenangan tokoh-tokohnya. Plot sebagai elemen cerita, menjadi tidak penting lagi, memudar digantikan aliran kesadaran dan monolog interior tokoh-tokohnya.

Lukisan Alfi, jelas bukan sekadar sapuan kuas yang kemudian mengering dan membeku. Di balik itu, ada jejak aliran emosi, dan arus masa lalu.

***

Siang itu, sehabis menjemput anak-anaknya pulang dari sekolah, Alfi bermain dengan mereka. Ia mengajari Frida, anak pertamanya yang berumur 6 tahun mengoperasikan komputer. Ia juga membetulkan simbal drum yang macet karena ditabuh dengan keras oleh anak keduanya, Adam, yang berumur 5 tahun. Dan di sela-sela itu, ia mencobloskan sedotan ke dalam kotak minuman, yang diulungkan oleh Gala, anak ketiganya yang berumur 2,5 tahun.

Pengalaman berpisah dan sempat tidak begitu dekat dengan kedua orangtuanya, membuat perhatian Alfi tertumpah buat ketiga anaknya. Ia tampak begitu perhatian, tetapi sekaligus tahu diri, supaya tidak terlalu menggurui anak-anaknya. Ia bahkan sengaja membiarkan tembok-tembok rumahnya penuh baluran cat 'hasil karya' anak-anaknya. ia tidak ingin mengulang suatu masa di mana ia dimarahi oleh ayahnya gara-gara bagian-bagian rumah tak luput dari keusilan tangannya. Alfi sadar betul, ia selalu terngiang kalimat terkenal Kahlil Gibran, yang dibacanya saat ia berada di dalam fase krisis sekaligus meditatif...

Your children are not your children.

They are the sons and daughters of Life's longing for itself.

They come through you but not from you,

And though they are with you yet they belong not to you.

You give them your love but not your thoughts, for they have their own thoughts.

You may house their bodies but not their souls,

For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

You may strive to be like them, but seek not to make them like you.

For life goes not backward nor tarries with yesterday.

You are the bows from which your children as living arrows are sent forth.

The archer sees the mark upon the path of the infinite,

and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.

Let your bending in the archer's hand be for gladness:

For even as He loves the arrow that flies so He loves also the bow that is stable.

(The Prophet; Chapter 3; On Children)

Ketika kemudian ketiga anaknya mulai asyik menghadapi permainan masing-masing, Alfi sepintas tampak mengamati mereka, namun pikirannya kembali melayang ke masa lalu, tentang kabut yang turun di Lintau, alunan pantun, aroma dan suasana surau, batu-batu bertulis yang membisu, seekor kerbau yang memburunya, bayang-bayang Pak Sofyan dan Pak Tarmizi... Ia segera disergap kembali oleh masa lalu.

Kesadarannya buyar ketika telepon genggamnya berbunyi, nada deringnya berasal dari salah satu lagu Moby, My Heart. Segera tangannya menyambar telepon genggam, dan melihat sebuah nama yang menghubunginya terpampang di layar telepon genggamnya. Alih-alih mengangkat dan menjawab telepon, Alfi justru meletakkan kembali telepon genggamnya di lantai. "Orang ini pasti mau membeli lukisanku. Tapi enggak, dia sebetulnya tidak peduli denganku, dia hanya peduli dengan dirinya sendiri..." tanpa ditanya, Alfi menerangkan panjang lebar.

Alfi mungkin teringat dengan pelajaran masa lalu, saat ia dipermainkan oleh seorang spekulan lukisan. Dan tentu saja, ia tidak mau terperosok di lubang yang sama.

Alfi, sebagaimana lukisan-lukisannya, bukanlah seseorang yang ditarik oleh masa depan, melainkan didorong oleh masa lalu.

10 juli 2008

(Puthut EA)

3 komentar:

  1. VIMAX PEMBESAR PENIS CANADA



    Bikin Penis Besar, Panjang, Kuat, Keras, Dengan Hasil Permanent



    isi 30 cpsl Untuk 1Bulan Hanya.500.000;



    Promo 3 Botol Hanya.1.000.000;



    ANEKA OBAT KUAT EREKSI DAN T.LAMA 



     PERANGSANG WANITA SPONTAN



    ( Cair / Tablet / Serbuk / Cream) 5Menit Reaksi Patent.

    Sangat Cocok Untuk Wanita Monopouse/ Kurang Gairah.





    ANEKA COSMETIK BERKWALITAS TERBAIK



    ( Pelangsing Badan, Pemutih Muka & Badan, Flek Hitam,

    Jerawat Membandel, Gemuk Badan, Cream Payudara,

    Obat Mata Min/ Plus, Peninggi Badan, Cream Selulit,

    Pemutih Gigi, Pembersih Selangkangan/ Ketiak,

    Pemerah Bibir, Penghilang Bekas Luka, Perapet Veggy,





     ALAT BANTU SEXSUAL PRIA WANITA DEWASA 



     tlp: 0822 2121 8228 BBM.24CEE3AE MR.SHOLE













    ....












    .....

    BalasHapus
  2. Isi Waktu Kosong Kamu dengan Bermain di Kicau4D !!!
    Situs Resmi Aman & Terpercaya.
    1 Akun Untuk Semua Permainan Slot-Togel-Poker-Casino-Tangkas-
    Bola-dan Permainan Lainnya !!!
    Banyak Bonus Bonus Menarik Lainnya !!!

    Daftar akun di Link Aktif: sukakicau4d.com
    Daftar Akun via WhatsApp: +855965549186

    BalasHapus